Postingan

Menampilkan postingan dengan label Catatan

Catatan Setelah Mejaku Digebrak

Gambar
Matematika menjadi momok selama aku duduk di kehidupan sekolah formal. Sejak kelas IV SD, sejak guru matematikaku membuatku kesal di tengah pelajaran. Dengan segala konsep dan stereotip yang sering diterima negatif oleh otak, nilai matematikaku selama 12 tahun sekolah semakin lama semakin biasa-saja-menuju-buruk. Belum lagi karena sejak dulu aku belajar di sekolah yang acap kali dicap "favorit", aku semakin terlihat biasa saja di tengah anak-anak rajin nan pintar. Jadi ketika rata-rata matematika SMA-ku di bawah 80, yang menjadikannya sebagai mata pelajaran dengan nilai rata-rata terendah di raporku, aku cuma bisa tertawa mengafirmasi. Hasna, temanku yang sering jadi korban tulisanku di blog ini, adalah korban nyata "kebodohan" matematikaku sewaktu SMA. Kalau aku mengaku mata pelajaran terlemahku adalah matematika dan kimia, maka dia potret sempurna kebalikan seorang aku. Matematika dan kimia adalah salah dua gaco andalan untuk menjadikannya 10 besar di kelas. Aku

Sepanjang Temaram Lampu Kota

Gambar
Kopi di gelasku sisa setengah, masih menyisakan hangat kuku ketika diseruput. Agak masam , aku mengecap. Arabika?  Padahal aku sudah memasukkan 5 gula kubus dan sedikit krimer untuk segelas kopi Belanda yang asal kuseduh dari lemari dapur. Manisnya tak seberapa di lidah, tapi sejurus kemudian menyerang kerongkongan, tubuhku mengafirmasi kopiku kemanisan. Sebenarnya, belakangan aku menghindari kafein. Musim panas di Turki agaknya menyiksa psikis, aku sempat beberapa kali kena heat stress sampai kemudian seorang kawan menasihatiku untuk menghindari kafein. “Perbanyak minum, makan buah, dan minum lemon,” katanya yang langsung aku iyakan. Lebih baik tidak minum kopi daripada kepanasan. Namun sekarang sudah tengah malam dan pemandangan balkon dari rumahku tak membiarkanku lewat tanpa secangkir kopi.   Apartemen sewaan untuk liburan musim panasku--bersama beberapa kawan setanah ibu--memiliki pemandangan balkon lantai 12. Jauh sepanjang arah timur ke selatan, kerlip lampu kota Kayseri be

Ada Tuhan di Jendela Lantai Enam

Gambar
Adalah menyenangkan menikmati pemandangan dari ketinggian. Bangunan yang berkubik-kubik besarnya itu hanya nampak seperti mainan lego dari kejauhan, sementara langit akan nampak lebih dekat dan dalam, seperti lautan biru lepas yang tak mampu terselami. Kesenangan serupa itu semakin waktu semakin aku nikmati setiba di Turki. Meski hanya dari atas bukit tempat piknik, dari apartemen sewaan tempat kawan-kawanku tinggal, dari kafe-kafe yang bersemayam di lantai atas bangunan ruko, atau sambil sekadar menikmati makanan cepat saji dari atap swalayan Almer di daerah merkez . Selama tiga tahun tinggal di asrama Melikgazi, aku tinggal di lantai zemin , lantai dasar, lantai nol sebelum satu, meskipun setiap blok asrama kami memiliki bangunan lima lantai. Penghitungan lantai di bangunan Turki memang selalu dimulai dari nol , mungkin karena kebudayaan arsitektur mereka mengabadikan kebiasaan Kesultanan Utsmani yang memiliki lantai -1 hingga -2. Pemandangan jendelanya hanyalah taman hijau dan

Kepada Pembaca Buku Bajakan yang Budiman

Gambar
Sumber foto : unsplash.com Kepada pembaca buku bajakan yang budiman, izinkan saya bercerita jika saya kecil pernah mengalami masa-masa bahagia ketika surat SAN (Surat Akad Naskah) dari Divisi Anak dan Remaja Mizan memelipir masuk ke rumah saya. Surat ini pertama kali datang ke rumah saya sekitar akhir 2009--sebelum saya tahu besok-besok surat akad semacam inilah yang menjadi “surat cinta” saya hingga duduk di bangku SMA. Di masa itu masih orangtua saya yang menandatangani pihak “penulis” pada SAN, yang isinya berupa pasal-pasal kesepakatan antara penulis dan penerbit, mulai dari ruang lingkup hak penerbitan hingga ke force majeure . Saya kecil tidak pernah berminat membaca habis pasal-pasal tersebut, bocah mana yang mau peduli pasal hak dan kewajiban sementara ia bisa melompat bahagia karena mengerti punya hak royalti? Bicara hak penulis dan penerbit di dunia perbukuan hari ini, rasanya sulit dipisahkan dengan industri pembajakan buku. Industri semacam itu mema

"Boleh Kenalan Ga? Agama Kamu Apa?"

Gambar
"Boleh Kenalan Ga? Agama Kamu Apa?" "Agama aku Kristen. Kamu?" "Aku Islam, kayaknya kita ga bisa temenan deh." "Iya ya, oke" Lalu mereka ga jadi kenalan. .... Terbayang tidak, jika suatu hari Indonesia dilanda kekacauan dan perselisihan yang parah, sampai kalau mau kenalan, yang pertama kali ditanya itu agama atau suku, bukan lagi nama. Ini lucu, bagaimana jika Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan berkoar soal Bhineka Tunggal Ika bisa hancur karena “Mempertuhan Ego” tiba-tiba menjadi budaya? Berita hangat yang kemudian memanas akhir-akhir ini tentu saja soal Jakarta dan sederet opini soal kebhinekaan dan Pancasila . Tiba-tiba manusia-manusia di media sosial berbicara seolah paling benar dan saling menjatuhkan. Share banyak berita yang tidak jelas sumbernya, seolah apapun dihalalkan agar opini yang dibuat semakin kuat. S ejujurnya , aku tidak tertarik buat ikut-ikutan terlibat , lelah hati d