Catatan Setelah Mejaku Digebrak

Matematika menjadi momok selama aku duduk di kehidupan sekolah formal. Sejak kelas IV SD, sejak guru matematikaku membuatku kesal di tengah pelajaran. Dengan segala konsep dan stereotip yang sering diterima negatif oleh otak, nilai matematikaku selama 12 tahun sekolah semakin lama semakin biasa-saja-menuju-buruk. Belum lagi karena sejak dulu aku belajar di sekolah yang acap kali dicap "favorit", aku semakin terlihat biasa saja di tengah anak-anak rajin nan pintar. Jadi ketika rata-rata matematika SMA-ku di bawah 80, yang menjadikannya sebagai mata pelajaran dengan nilai rata-rata terendah di raporku, aku cuma bisa tertawa mengafirmasi.

Hasna, temanku yang sering jadi korban tulisanku di blog ini, adalah korban nyata "kebodohan" matematikaku sewaktu SMA. Kalau aku mengaku mata pelajaran terlemahku adalah matematika dan kimia, maka dia potret sempurna kebalikan seorang aku. Matematika dan kimia adalah salah dua gaco andalan untuk menjadikannya 10 besar di kelas. Aku sampai merasa perlu minta diajari, sering pula aku menyalin tugas matematika yang jumlahnya berlembar-lembar kertas folio, meskipun lebih sering menyalin jawaban dibanding nanya. Sejak kelas XI, ia selalu menjadi tempatku bertanya soal logika hitungan. Chat room kami di Line sering membahas soal, bahkan album foto kami juga berisi soal (dan jawaban) matematika. Mengherankan memang mengapa ia masih mau berteman denganku. Secara teknis, aku hanya mampu menjadi guru bahasa untuknya. Tapi sejatinya ia memang teman sefrekuensi yang menyenangkan. Setidaknya kami tidak pernah kehilangan obrolan di luar soal-soal pelajaran.

Foto oleh Roman Mager. Sumber: unsplash.com

Pernah suatu ketika, di kelas XI, di suatu hari yang sama normalnya dengan hari-hari yang lain, aku minta diajari matematika. Aku tidak ingat persis materinya mengenai apa, tapi yang pasti aku benar-benar tidak paham. Aku dan Hasna bolak-balik mengerjakan soal. Bolak-balik juga aku kembali bertanya tidak mengerti, otakku seakan enggan memahami konsep yang ia ajarkan. Demi waktu-waktu yang membuat kami sama-sama jengkel, ia dengan ketidaktahuannya soal bagaimana cara agar murid di hadapanku ini paham dan aku juga tidak tahu bagaimana caranya bisa paham apa yang dia ajarkan, sekonyong-konyong mejaku digebrak.

Sialan.

:(

Aku syok.

Terdiam mencerna apa yang sedang terjadi.

Untuk sepersekian detik Hasna menatapku kesal, aku balas menatapnya tidak tahu harus merespon apa. Kami saling tatap sebelum sejurus kemudian, dia tertawa. Aku masih bergeming, masih berusaha mencerna keadaan. Aku salah apa? Apakah aku membuat dia marah? Apakah aku boleh menangis? Apakah aku boleh ikut tertawa?

"Mukanya Ajijah lucu banget," katanya bahagia. Menurut Anda?

Aku yakin otak dan jantungku berhenti berkerja sekejap. Tapi tawa susulannya membuatku bisa bernapas dan ikut tertawa ragu-ragu. Hasna lalu bercerita kepada kawan-kawan yang lain bahwa hari itu ia telah membuat aku syok setengah mampus. Aku ber-haha mengiyakan, walaupun sampai pulang sepertinya mukaku pucat.

Sayangnya, mejaku digebrak tidak membuatku jadi lebih jago matematika.

Setelah kejadian gebrak meja, aku trauma sedetik. Aku khawatir jangan-jangan Hasna tidak mau mengajari aku lagi dan aku tidak akan paham matematika selamanya. Alhamdulillah ketakutanku tidak terbukti. Sampai lulus ia adalah guru logika hitungan yang baik, meskipun ternyata tetap saja aku tidak menjadi sangat pandai dalam matematika. Tidak ada lagi kejadian gebrak meja setelahnya, dan aku rasa memang tidak perlu ada.  Kami sama-sama merasa bersalah dan mencoba mengambil hikmah dari kejadian tersebut. Sebenarnya tidak ada yang salah dari Hasna yang iseng menggebrak mejaku, toh pada akhirnya ia tetap mengendalikan emosinya. Aku pun tidak perlu merasa berdosa hanya karena tidak pandai matematika.

Suatu hari, setelah 5 tahun kejadian tersebut berlalu, aku iseng membagikan sebuah postingan di grup Line lingkaran persahabatan kami. Postingan itu berisi video anak kecil marah setelah gagal memasukkan sedotan pada gelas minumannya.

Aku kalau ngerjain matematika, tulisku setelah membagikan postingan.

Hasna menjawab cepat, Aku kalau ngajarin Ajijah. 

Seharian aku tertawa mengingat potongan percakapan itu, mengingat kejadian yang sudah lama tidak terbahas. Entah mengapa, selalu menarik ketika kita berhasil menertawakan masa lalu. Padahal kami sama-sama tahu, pada saat kejadian, ia kesal dan aku kaget. Pada detik kejadian kami sama-sama sedang tidak baik-baik saja. Tapi setelah kami berdamai dengan diri kami dan kejadian tersebut pergi berlalu lama, ia malah bisa aku jadikan tertawaan. Bagi Hasna, ia perlu berdamai dengan pengendalian emosi dalam dirinya, sementara untukku, aku harus berdamai dengan rasa bersalah karena ketidakmampuanku sendiri. Bagi seseorang yang tinggal di lingkungan "anak-anak rajin nan pintar", aku harus jujur betapa aku butuh energi bertahan dengan rasa percaya diri.

Mungkin itulah mengapa komedi disebut-sebut sebagai bentuk lain daripada penerimaan kekurangan diri. Setelah sebuah kejadian sedih, marah, kesal, pahit--atau apapun itu namanya termakan oleh penerimaan dan kedewasaan, ia bisa menjadi obrolan yang bahkan begitu lucu ketika terlintas di dalam angan.

Dan perlahan tapi pasti, kedewasaan mengubah kami pada pribadi yang lebih baik; mencoba berdamai dengan kebodohan-kebodohan masa lalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Turkiye Burslari : Tips LOI #Pengalaman

7 Alasan Kenapa Kalian Harus Masuk SMAN 2 Cimahi

Turkiye Burslari 2017 (Bag. 1) : Lolos Tahap Pemberkasan, Alhamdulillah :)

Lolos Tahap Satu Turkiye Burslari 2017, Berkas Apa Saja yang Perlu Disiapkan?