Ada Tuhan di Jendela Lantai Enam

Adalah menyenangkan menikmati pemandangan dari ketinggian. Bangunan yang berkubik-kubik besarnya itu hanya nampak seperti mainan lego dari kejauhan, sementara langit akan nampak lebih dekat dan dalam, seperti lautan biru lepas yang tak mampu terselami. Kesenangan serupa itu semakin waktu semakin aku nikmati setiba di Turki. Meski hanya dari atas bukit tempat piknik, dari apartemen sewaan tempat kawan-kawanku tinggal, dari kafe-kafe yang bersemayam di lantai atas bangunan ruko, atau sambil sekadar menikmati makanan cepat saji dari atap swalayan Almer di daerah merkez.

Selama tiga tahun tinggal di asrama Melikgazi, aku tinggal di lantai zemin, lantai dasar, lantai nol sebelum satu, meskipun setiap blok asrama kami memiliki bangunan lima lantai. Penghitungan lantai di bangunan Turki memang selalu dimulai dari nol, mungkin karena kebudayaan arsitektur mereka mengabadikan kebiasaan Kesultanan Utsmani yang memiliki lantai -1 hingga -2. Pemandangan jendelanya hanyalah taman hijau dan cemara-cemara pendek yang tumbuh terawat di lingkungan asrama. Tapi, semenjak pandemi terjadi, aku diakui sebagai warga nomaden, berpindah dari asrama satu ke asrama. Tujuannya agar mahasiswa asing yang masih menetap di Kayseri dan sekitarnya terkoordinir dengan baik. Hanya di kondisi seperti inilah aku bisa memiliki kamar dengan pemandangan a la gedung bertingkat. Hingga suatu hari, aku memiliki pemandangan kamar dari lantai enam.

Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dari jendela kamarku. Tidak ada matahari terbenam dan hanya sedikit matahari terbit yang menyapa malu-malu, terhalang banyak apartemen belasan tingkat. Ketika melihat ke bawah, aku akan menemukan taman bermain dengan kursi taman, ayunan, dan jungkat-jungkit. Beberapa pohon dan rumput musim semi tumbuh di sekitaran taman. Agak ke kanan, mobil terlihat berseliweran mengitari jalan bundaran dan dari sudut buta jendelaku, aku bisa melihat sekilas atap dari madrasah sebuah masjid yang berdiri tegap di depan asrama.

Meskipun tidak ada pemandangan pegunungan, sore, atau apapun yang biasa dinikmati anak senja, aku tetap senang mengamati halaman samping asrama dari balik kaca. Aku senang menggeser kursi ke depan jendela lalu menatap langit ketika ia mulai membiru dan menggelap, sambil tilawah dan menghafal, sambil memutar musik dan mencatat banyak hal. Terkadang aku hanya diam berdiri, menikmati aktivitas orang-orang yang berlalu lalang. Membiarkan pikiranku lebih ramai dan melanglang lebih jauh.

Foto oleh James Hartono, sumber: unsplash.com

Salah satu yang berkelebat di kepalaku ialah tayangan televisi yang populer ketika aku masih duduk di bangku SMP, The Next Mentalist. Sebuah ajang kompetisi sulap dari berbagai aliran. Tidak hanya bagi yang bermazhab mentalist, tapi para penganut sulap klasik, escapist, illusionist, hingga atlet memori turut bersaing untuk membuat pertunjukan sulap terbaik di atas panggung. Deddy Corbuzier--yang ketika itu masih menyandang gelar Master--menjadi juri tunggal untuk kompetisi tersebut. Aku selalu mengusahakan untuk bisa menonton tayangan ini meskipun sejak SD tayangan televisi sifatnya adalah terlarang di rumah. Entah demi hiburan, entah demi melihat Master Deddy, entah pula untuk menikmati pertunjukan ingatan Dominic Brian sebagai salah satu kontestan favoritku. Tentu saja selain demi si The Sacred, Riana, yang begitu memesona (dan di kemudian hari menjadi alter ego pada novelku).

Dalam salah satu tayangan, Master Deddy mencoba unjuk gigi dengan "meramal" pikiran penonton. Ia menulis sebuah kalimat di secarik kertas lalu memasukkannya ke dalam kotak. Secara acak ia meminta penonton untuk mengatakan satu kata apa saja yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Si penonton tampak berpikir sambil tertawa sedikit. Kecoa, ujar si penonton absurd, membuat beberapa orang tergelak. Secara ajaib, ketika kotak dibuka, kata di secarik kertas tadi menuliskan kata sama persis dengan kata yang penonton lontarkan, Kecoa. Maka tanpa aba-aba para hadirin bertepuk tangan, kagum.

Master Deddy menjelaskan konsep sulapnya dengan perumpamaan seorang manusia yang berdiri di atas gedung tinggi. Dengan pandangan setinggi itu, ketika seseorang melihat ke bawah dan mengamati jalan lalu lintas, ia memiliki pandangan lain yang tidak dimiliki oleh siapapun yang ada di bawah sana. Ia bisa melihat banyak hal, dari berapa jumlah mobil yang sedang terjebak kemacetan, hingga kemungkinan terjadinya kecelakaan. Contohnya, ketika ada mobil berkecepatan penuh kehilangan kendali datang dari arah barat. Seseorang yang memiliki pandangan lebih luas mampu "meramalkan" terjadinya kecelakaan ketika melihat ada truk yang datang dari arah berlawanan, ia bisa mengetahui kemungkinan kecelakaan akan terjadi beberapa saat sebelum kejadian. Tidak ada yang istimewa dari sulapnya, kata Master Deddy. Hanya satu yang membedakan ia dengan para penonton; sudut pandang yang lebih luas.

Dalam beberapa konsep sudut pandang, bahkan dalam teori film yang kupelajari di kelas, pandangan penuh dari zenit bisa disebut dengan God's Eye view. Mata Tuhan. Sebuah sudut pandang ketika kita (sebagai pengamat) lebih tahu dibanding yang kita amati. Kalau di teori point of view dalam penulisan naskah, ia sama dengan "sudut pandang orang ketiga serba tahu". Sebelum aku berpikir lebih jauh mengapa ia dinamai Mata Tuhan, tentu aku menjustifikasi istilah tersebut dengan heran, apakah orang-orang tengah menyamakan dirinya dengan Tuhan?

Namun istilah Mata Tuhan terdengar lain ketika aku mulai memiliki hobi berdiri dekat jendela kamar. Melahap informasi apapun dari balik kaca bening membuatku heran, bagaimana sudut pandang bisa begitu berpengaruh pada ilmu yang diperoleh manusia? Meskipun aku hanya ada di lantai enam, tidak sedang di puncak tertinggi menara telekomunikasi, aku tetap bisa menikmati informasi soal lampu apartemen mana saja yang masih menyala ketika malam mulai larut. Aku juga bisa melihat beberapa apartemen sedang menonton televisi, bahkan bisa menebak-nebak dua apartemen sedang menonton kanal televisi yang sama.

Ketika masuk normal baru dan anak-anak sudah diizinkan bermain keluar, aku bisa melihat mereka yang bermain sepeda, aku bisa melihat kemungkinan dua orang kawan akan saling menyapa bahkan sebelum mereka saling melihat satu sama lain, aku bisa melihat apa yang dilakukan anak lain ketika salah satu dari mereka sedang pergi menemui ibunya. Dari ketinggian, mata manusia mampu melihat banyak hal yang tidak bisa dinikmati orang lain di bawah sana. Aku mendadak diliputi perspektif aneh soal mengamati. Seperti yang Master Deddy gambarkan, pandangan lebih luas bisa mengajari kita amatan soal hidup dan kehidupan. Lebih dari sekadar mengamati seseorang secara individu.

Meski begitu, pandangan manusia dan jendelaku tetap saja terbatas. Ada sudut buta jendela yang menjadi garis ujung amatan, tidak ada masjid yang sebenarnya berdiri megah di arah barat daya, tidak ada pula senja yang boleh dinikmati dengan secangkir kopi seraya menanti maghrib. Ketika mengamati apartemen, aku tidak bisa sambil menganalisa taman bermain. Ketika melihat ke kanan, mata manusiaku tidak bisa mengawasi yang kiri. Mataku hanya mampu melihat apa yang nampak dari jendela, tidak di dalam rumah, apalagi yang bisa menembus pikiran dan hati manusia lainnya. Pun, suka atau tidak, ketinggian meluputkan banyak detail kecil dari pengamatan mata manusia.

Dengan ketinggian dari zenit semesta sekalipun, manusia tetap saja manusia. Pengkategorian Mata Tuhan tidak pernah cocok disematkan pada kemampuan manusia yang hanya mampu mengamati detail terbatas dengan sudut pandang yang sama terbatasnya. Di sisi lain, akal manusia mampu mengamati dengan amatan jauh lebih luas, menembus titik buta daripada kedua mata, sehingga ia tidak berhenti bertanya sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan matanya. Maka, pengkategorian Mata Tuhan sejatinya adalah tanya atas eksistensi dzat yang mampu mengawasi setiap gerak-gerik manusia tanpa sekilas pun lewat dari awasan-Nya. Ketika aku bisa mengantuk dan lalai ketika sedang mengawasi, tidak sadar kapan si anak ini menghilang padahal baru tadi makan es krim di kursi taman, aku juga bertanya soal dzat Yang Maha Mengawasi, yang sudut pandangnya paling luas dan paling dalam. Karena aku sadar bahwa Ia pasti tidak pernah lalai dari mengawasi gerak-gerik ciptaan-Nya. Cogito Allah sum, kata-kata filsuf Prancis, Descartes, yang terkenal itu pernah kulihat teradaptasi dengan versi seorang hamba: maka dengan aku berpikir, Allah semakin nyata adanya. 

Lalu, seberapa tinggikah tempat Ia bersemayam, jika pandangannya saja mampu mengawasi setiap hal di luar dan dalam hati kita tanpa terlepas sedikit pun? 

Kembali menekuni aktivitas jendela, sesaat mataku menangkap sosok seorang gadis kecil mendekati gazebo di halaman apartemennya. Aku mencoba menerka dengan kemungkinan apa yang sedang ia lakukan? Apakah kali ini aku bisa meramalkan sesuatu karena sudut pandangku yang luas? Beberapa saat mengamati, aku baru sadar kalau ia tengah mendekati sepeda warna merah jambu yang ia parkir dekat pohon rindang, mungkin pohon ek--entahlah, aku tidak jago klasifikasi tanaman. Sebagai respon atas pikiranku sendiri, aku tak kuasa menahan senyum atas dua hal. Pertama, soal pohonnya yang jelas bisa mataku tangkap secara kasat tapi bisa tidak aku tahu namanya, apalagi sepeda yang tidak begitu nampak jelas di penglihatanku. Kedua, karena Tuhanku Al-Bashir, Yang Maha Melihat, telah hadir lewat jendela kamarku. Masuknya tidak perlu mengetuk jendela, Ia telah datang mengetuk hati dan pemahaman pada setiap hamba-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Turkiye Burslari : Tips LOI #Pengalaman

7 Alasan Kenapa Kalian Harus Masuk SMAN 2 Cimahi

Turkiye Burslari 2017 (Bag. 1) : Lolos Tahap Pemberkasan, Alhamdulillah :)

Wawancara Beasiswa YTB dan Bagaimana Aku Mempersiapkannya