Sepanjang Temaram Lampu Kota

Kopi di gelasku sisa setengah, masih menyisakan hangat kuku ketika diseruput. Agak masam, aku mengecap. Arabika? Padahal aku sudah memasukkan 5 gula kubus dan sedikit krimer untuk segelas kopi Belanda yang asal kuseduh dari lemari dapur. Manisnya tak seberapa di lidah, tapi sejurus kemudian menyerang kerongkongan, tubuhku mengafirmasi kopiku kemanisan. Sebenarnya, belakangan aku menghindari kafein. Musim panas di Turki agaknya menyiksa psikis, aku sempat beberapa kali kena heat stress sampai kemudian seorang kawan menasihatiku untuk menghindari kafein. “Perbanyak minum, makan buah, dan minum lemon,” katanya yang langsung aku iyakan. Lebih baik tidak minum kopi daripada kepanasan.

Namun sekarang sudah tengah malam dan pemandangan balkon dari rumahku tak membiarkanku lewat tanpa secangkir kopi.  Apartemen sewaan untuk liburan musim panasku--bersama beberapa kawan setanah ibu--memiliki pemandangan balkon lantai 12. Jauh sepanjang arah timur ke selatan, kerlip lampu kota Kayseri begitu memikat. Lalu lalang mobil yang kini hanya seperti semut-semut beriringan membuat kota kami masih hidup meski selarut ini.

Terkadang aku merasa heran, hampir setiap waktu aku menyinggahi daerah dengan kerlip lampu di kejauhan, memoriku selalu bicara soal Bandung sebagai kota kelahiran. Bandung memiliki kerlip lampu kota yang ciamik. Imbasnya, ia memanggil banyak memori indah waktu kecilku dan seyogianya banyak pilihan-pilihan masa kecil yang akhirnya mengubah sisa hidup. Sesederhana mengapa aku tidak suka panas atau mengapa aku menyukai kopi manis. Bahkan berdiri di negeri antah berantah, dengan lengan bersandar pada teralis rendah di balkon lantai 12, memiliki potongannya sendiri belasan tahun silam.

Foto oleh Valery Rabchenyuk. Sumber: unsplash.com

Sebagai anak sulung, memori paling jauh yang kumiliki adalah menjadi anak tunggal selama beberapa waktu. Sangat sedikit yang bisa aku ingat, tapi aku tahu bahwa aku punya masa kecil indah sebagai cucu pertama dari kedua belah pihak. Fakta kecil yang selalu terkenang ialah, keluarga besarku mencintai buku, maka aku diajarkan demikian. Jauh sebelum aku mampu mengeja, hadiah untukku selalu buku. Bahkan masih kusimpan dua buku dengan tokoh utama bernama Iza (panggilanku waktu kecil) dari hadiah ulang tahun pertamaku di 1999. Abi dan Umi sering membelikan aku buku Bahasa Inggris dan Indonesia, yang berwarna dan harus kuwarnai sendiri, hingga dongeng dan ensiklopedia. Umi mengajari cara membuka buku yang baik dan benar, memberi nama dan tanggal pada buku yang dibeli, dan menyampulnya dengan plastik (yang sampai saat ini masih jarang aku lakukan). Maka tidak heran buku menjadi agenda besarku dalam tahun-tahunku selanjutnya.

Ketika aku memilih masuk di dunia menulis, ia tidak bisa kupisahkan daripada karena aku membaca. Perbendaharaan kataku mungkin tidak seberapa, hanya saja membaca mengejaku untuk mengungkapkan kejadian dengan tata bahasa yang cukup baik. Suatu waktu di kelas 2 SD, pernah kelas kami ditugasi menulis puisi. Aku kecil heran mengapa puisi teman-temanku selalu bertema itu-itu saja dan dimulai dengan kata “Oh”, seolah tidak ada cara lain untuk menulis puisi. Maka aku menulis sesuatu yang berbeda. Sebagai imbalannya, guru Bahasaku memuji dan memberi nilai sangat baik pada buku garis tiga yang kupakai. Semenjak hari yang menyenangkan itu, aku tahu aku akan menulis sepanjang sisa usia.

Fiksi menjadi pilihan pertamaku untuk menulis, tentu saja. Aku selalu kagum dengan bagaimana seseorang bisa membuat dunia di kepala orang lain. Banyak novel yang mengajakku membuat dunia dan kemudian menata cara berpikir. Aku mulai menyenangi dunia sosial dan politik dari buku-buku Afifah Afra, pandangan hidup dari buku-buku Tere Liye, dongeng-dongeng dari berbagai karya Kak Eka Wardhana pun Clara NG, dunia psikologi di kelas-kelas psikiatri Torey Hayden, hingga ke gambaran dunia jurnalistik dari banyak cerpen remaja yang kubaca. Fiksi termasuk yang paling awal kujamah dan mulai kulatih dengan kemudian mengirimkan satu dua cerita pendek dan puisiku di koran PeEr Kecil mingguan Pikiran Rakyat, sekali waktu pernah pula di Majalah Ummi. Sebagai dukungan, orangtua mulai memberikan kesempatan ikut pelatihan menulis fiksi di sebuah penerbit mayor yang ketika itu besar-besaran menerbitkan karya anak. Lalu perlahan, terbitlah beberapa antologi dan soloku, hingga SMA.

Mungkin banyak orang yang menilai menulisku hanya sebagai kesenangan pribadi. Meski memang iya, tapi sebenarnya menulis selalu menjadi jawaban ketika aku ingin menyampaikan cara berpikirku, menebas aturan main yang beredar umum di masyarakat.  Tulisanku sering bicara kelas bawah strata sosial, kebudayaan, kondisi psikologi yang sering dipandang sebelah mata, atau mencoba melawan klise yang ketika itu model alurnya sering kubaca. Seperti halnya kejadian menulis puisi waktu aku kelas 2 SD, sebenarnya masa itu aku tengah menolak cara berpikir umum yang terjadi di seantero kelas.  

Pernah suatu kali, di kelas 5 SD, pikiranku mulai radikal dengan membenci pola pendidikan Indonesia dan merasa pendidikan itu tidak penting. Curhat atas ketidaksukaanku belajar formal tertuang di belakang kertas ulangan matematika. Beberapa hari kemudian guru matematikaku yang ketika itu juga wali kelasku memanggil, memberi sebuah buku catatan bersampul batik lalu berkata, “Ibu pengen ngobrol sama kamu lewat buku ini.” Maka kami terlibat diskusi langsung dan tidak langsung tentang pendidikan formal setelah bel pulang sekolah berbunyi. Ketika itu menulis telah mengantarkan pada suatu penyadaran lain: berbagi sudut pandang.

Seiring waktu berjalan, menulis semakin lama semakin tidak mudah. Di usia kuliah, nafasku megap-megap, mengais alasan untuk terus konsisten menulis dan membaca. Kita hari ini memang karena pilihan kita di masa lalu dan aku telah mebuat banyak pilihan untuk terus menulis. Namun nyatanya, menulis lebih dari sekadar ego pribadi daripada perlawanan. Ia bisa saja menjadi ladang amal buruk, jika ia tidak bisa menjadi ladang kebaikan. Atau bisa saja adalah sia-sia sebagai sekumpulan kata-kata siap usang.

Di suatu telepon beberapa waktu lalu, Abi menunjukkan antusiasme penuh jika aku memilih untuk terus menulis. Tapi kemudian ia mengingatkan bahwa menulis itu untuk masyarakat, untuk massa, bukan semata untuk kesenangan pribadi. Selain untuk pengabadian, menulis adalah pengabdian.  Lalu apakah aku sanggup menulis sepanjang sisa usia, selama hayat masih dikandung badan? Studiku hari ini ialah Radio-TV dan Film, bukankah terjun bebas ke dunia penyiaran dan mengikis sumpahku untuk terus menulis juga tak kalah menarik?

***

Kopi di gelasku sudah habis dan lampu-lampu masih nampak cantik dari kejauhan. Seperti kumpulan bintang yang berbaris menunggu terbitnya matahari pagi. Jujur, aku beberapa kali membuat tulisan dan surat dengan latar belakang malam dan kerlip lampu kota. Demi nampak seperti kisah romantis di buku-buku--tapi sepertinya tulisan ini tidak nampak romantis. Selama malam masih memiliki kerlipan lampu seperti malam ini, memori malam-malam kota Bandung sepertinya akan tetap hidup dalam bayanganku.

Harus kuakui, ketika aku memutuskan bahwa menulis adalah sepanjang sisa usia, kerlip lampu kota kami tidak hanya akan memanggilku soal Bandung dan kenangan masa kecil. Ia juga akan memanggilku kepada hari ini dan masa depan. Perjalananku masih panjang, dengan segala idealisme yang perlahan aku bangun, aku kudu mesti terus belajar. Perlu mengais banyak catatan tentang untuk apa dan untuk siapa aku menulis. Tentang seberapa jauh aku mampu bertahan untuk bisa menulis demi pengabdian, bukan hanya demi keabadian. Tapi setidaknya, untuk saat ini, menulis bisa sesederhana untuk mengabadikan momen merenungku di balkon sampai subuh, beserta rasa-rasa yang boleh diabadikan dengan kata-kata.

Lampu kota kami masih saja temaram. Ah, mungkin aku harus ambil segelas kopi lagi, semoga aku tidak kepanasan.


(Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Catatan Pringadi bekerja sama dengan Tempo Institute)

Update: Alhamdulillah dapat 10 besar :) Kebetulan sekali aku ngincer buku Jurnalistik Dasar Tempo, jadi hadiah 10 besar ini pas untukku.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Turkiye Burslari : Tips LOI #Pengalaman

7 Alasan Kenapa Kalian Harus Masuk SMAN 2 Cimahi

Turkiye Burslari 2017 (Bag. 1) : Lolos Tahap Pemberkasan, Alhamdulillah :)

Lolos Tahap Satu Turkiye Burslari 2017, Berkas Apa Saja yang Perlu Disiapkan?