Kepada Pembaca Buku Bajakan yang Budiman

Sumber foto : unsplash.com

Kepada pembaca buku bajakan yang budiman,

izinkan saya bercerita jika saya kecil pernah mengalami masa-masa bahagia ketika surat SAN (Surat Akad Naskah) dari Divisi Anak dan Remaja Mizan memelipir masuk ke rumah saya. Surat ini pertama kali datang ke rumah saya sekitar akhir 2009--sebelum saya tahu besok-besok surat akad semacam inilah yang menjadi “surat cinta” saya hingga duduk di bangku SMA. Di masa itu masih orangtua saya yang menandatangani pihak “penulis” pada SAN, yang isinya berupa pasal-pasal kesepakatan antara penulis dan penerbit, mulai dari ruang lingkup hak penerbitan hingga ke force majeure. Saya kecil tidak pernah berminat membaca habis pasal-pasal tersebut, bocah mana yang mau peduli pasal hak dan kewajiban sementara ia bisa melompat bahagia karena mengerti punya hak royalti?

Bicara hak penulis dan penerbit di dunia perbukuan hari ini, rasanya sulit dipisahkan dengan industri pembajakan buku. Industri semacam itu memang tidak akan begitu terasa menyakitkan ketika kita tidak melibatkan diri, baik secara raga maupun jiwa, dengan dunia penerbitan. Tapi serupa saya yang akhirnya melewati batas usia 17 tahun untuk diizinkan menandatangani SAN sendiri, jiwa kesakitan hak penulis saya akhirnya terpanggil. Facebook saya yang lini masanya berisi postingan dari rekan-rekan penulis mulai berisi kisah pengalaman menjadi korban pembajakan buku. Mulai dari buku yang bentuknya cetak hingga merambah di dunia per-Wattpad-an. Kalau mau bercanda, saya dengan senang hati berseru tagar #SaveRoyalti. Namun bagi saya, pembajakkan buku lebih dari sekadar royalti yang masuk ke saku rekening, lebih dari sekadar ridho atau tidak ridhonya Si Penulis ketika bukunya dibajak, tapi juga menyangkut soal kemaslahatan penerbit (yang berisi ratusan hingga ribuan karyawan para pencari nafkah) ketika haknya dilucuti untuk menjadi hiasan mewah sebuah industri gelap perbukuan--yang mungkin uang perolehannya bisa buat umroh tiap bulan. Masya Allah, Akhi.

Kita tahu, sejak tahun 2015, pajak buku menggila. Mulai dari pajak kertas, pajak percetakan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hingga ke Pajak Penghasilan (PPh). Pajak buku berlapis ini membuat bengkak harga buku di pasaran. Di masa-masa awal itu, harga buku bikin saya istighfar, berulang kali saya ke toko buku hanya untuk melihat, menertawakan harganya, lalu menyimpannya kembali ke dalam rak. Kadang menoleh ke sana kemari berharap ada yang bisa mentraktir barang satu dua buku. Saya yang awalnya begitu loyal dengan buku menjadi begitu pilih kasih. Efek melambungnya harga buku, selain menekan minat baca masyarakat kita (yang sudah malas baca dari sononya), juga berefek pada keuntungan bajak-membajak. Sekeping buku bisa jatuh sampai 50% lebih murah setelah dibajak. Sementara saya yang kini menetap di Kayseri--sebuah kota hening di Turki--gigit jari menikmati betapa harga segitu bisa dapat sekeping buku orisinil. Edan memang, siapa juga yang peduli kualitas untuk hanya sekadar buku bacaan sekali baca? Saya salut betapa Anda budiman sekali menyisihkan uang Anda untuk buku murah yang isinya berkualitas. Sementara para buruh penerbitan itu berseru melawan pembajakan buku, para pembajak sendiri ongkang-ongkang kaki, bersyukur karena tidak perlu bayar editor dan layouter mahal-mahal.

Sumber : unsplash.com

Masyarakat perbukuan kita sudah menerima pembajakan buku sebagai suatu yang lumrah terjadi. Sebut saja Wacana Sosialis di Shopping, Yogyakarta, atau Palasari di Bandung yang ramai kunjungan. Sekali waktu, saya pernah mencoba berkunjung ke Palasari, deretan kios dengan buku-buku terpampang mencoba menggoda di sepanjang jalan. Tidak perlu waktu lama untuk menemukan satu-dua buku
best seller yang mungkin harus menangis, mengais-ngais isi toko online, dan keliling seluruh Bandung dulu untuk mendapat buku aslinya. Tinggal sebut judul buku pada si pemilik kios, dan taraaa buku langka dengan harga miring-hampir-jatuh itu akan muncul begitu saja di depan mata, ajaib.

Pembaca buku bajakan yang budiman ...

Tidak menafikan juga kalau saya sendiri pernah beli buku bajakan. Sebenarnya belanja seperti itu sudah pasti kecelakaan, saya lebih rela nabung berbulan-bulan atau beli bekas daripada mengkhianati titel penulis. Kala itu, hadir perasaan bersalah yang tidak ingin kembali saya rasakan, perasaan yang mungkin tidak akan Anda rasakan. Saya merasa diliputi perasaan berdosa hingga berminggu-minggu, sampai saya merasa perlu bertanya via story Instagram : Bagaimana menghilangkan rasa bersalah setelah membeli buku bajakan? Sebagai responnya, komentar warganet memang tiada tanding! Saya ditertawakan habis-habisan oleh banyak kawan dan diserang pertanyaan, “Kok bisaaa?!” dari delapan penjuru.

Suatu hal yang saya patut syukuri dari kejadian itu ialah, saya masih punya perasaan malu, dan teman-teman saya masih tega menertawakan kebodohan saya. Seandaianya rasa malu itu hidup dalam diri anak muda kita, rasanya tidak ada juga yang beli buku secara illegal, karena penebusan dari perasaan dosa semacam itu mungkin hanya bisa hilang setelah membeli buku aslinya dan membuang buku bajakannya. Saya pribadi memang lebih senang meminjamkan atau memberikan buku orisinil dibandingkan membiarkan kawan saya merasa nyaman membaca dari halaman-halaman buku yang uang pembeliannya tidak jelas juga mengalir pada siapa, di mana, semalam berbuat apa.

Foto kunjungan terakhir saya ke toko buku di Bandung, sampai hari itu masih suka halu berharap ada yang mau bayarin. (Sumber : dok. pribadi)

Pembajakan (entah itu pada buku, musik, atau film) memang suatu mega-industri tanpa ujung. Besar-besaran, nampak normal, dan begitu legal. Butuh keteguhan hati dan kesabaran menumpas pembajakan buku di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya bisa menghargai substansi sebuah buku, memahami seberapa jauh perjalanan suatu naskah untuk ditulis hingga sampai ke tangan pembaca. Di sisi lain kita tidak bisa mengubah pajak perbukuan sekehendak hati kita. Memang benar kata orang, di Indonesia, kalau mau hidup makmur jadilah pegawai negeri, jangan jadi penulis atau berkerja di kantor penerbitan. Maka penyadaran hak cipta suatu karya itu memang harus dilatih sesama kita.  Jangankan untuk teriak-teriak soal pengembangan minat baca di Indonesia, bagaimana kita berani bangga “dikatai” wahai pembaca buku yang budiman ketika, bahkan, menghargai penulis saja penuh keraguan?

Komentar

  1. Dulu saya juga termasuk penikmat buku bajakan, tanpa rasa bersalah order tiga empat kali demi ngilangin rasa kepo. Walau sering juga diingatkan kanan kiri kalau perbuatan itu jahatnya luar biasa. Tapi udah beberapa tahun kemarin saya udah sadar dan tobat, kak✌️ maafkan aku yang dulu para penulis ku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tanpa buku bajakan pun, saya yakin kakak emang serajin itu baca buku😊

      Hapus
  2. Lain kali kalo ke toko buku, ajak Bi En. Supaya gak tengok kanan-kiri lagi. ;)
    Mana nih cerita Turkinya? Kok malah gak ada

    BalasHapus
  3. Buku bajakan yang saya peroleh ketika ada satu teman yang mengirim link buku-buku best seller. Banyak pisan ternyata dan dengan mudah beredar

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Turkiye Burslari : Tips LOI #Pengalaman

7 Alasan Kenapa Kalian Harus Masuk SMAN 2 Cimahi

Turkiye Burslari 2017 (Bag. 1) : Lolos Tahap Pemberkasan, Alhamdulillah :)

Wawancara Beasiswa YTB dan Bagaimana Aku Mempersiapkannya