Seandainya Jatuh Hati pada Orang Asing adalah Pilihan yang Boleh Dipilih (Bag. 1)

Alkisah,

Ini adalah kali kedua Gadis Kecil pulang ke tanah air, menjadikannya kali kedua harus menunggu 9 jam transit di Doha, Qatar. Ia menghela nafas, heran sekaligus takjub karena ia kembali ada di kondisi berlama-lama di bandara. Sebenarnya ia tak yakin apa tujuannya pulang hingga dua kali dalam setahun. Tapi efek pandemi tahun ini sepertinya memberikan kesempatan semacam itu. Jadi selama kesempatan itu ada, mengapa tidak? Lagipula selalu ada yang dirasa belum selesai dalam kepulangan sebelumnya.

Penerbangan menuju Doha tidak terlalu melelahkan. Tapi transit di Bandara Internasional Hamad bukan perkara mudah ketika pandemi. Sembilan jam menunggu dengan fasilitas terbatas benar-benar bukan pilihan menyenangkan. Untung kali ini penerbangannya tidak sendirian, ada lima teman rantaunya yang berangkat dengan jadwal sama. Sehingga ia tidak perlu merasa bosan atau kehilangan teman bicara andai kata internet bandara jelek karena penumpang membludak akhir-akhir ini.

Pesawat Doha-Jakarta take off pukul 2 dini hari. Sepanjang transit ia tidak bisa tidur, ia malah asyik bercerita dengan kawan-kawannya. Jadi rencananya adalah masuk pesawat, menahan kantuk sedikit untuk menunggu menu makan pagi, dan tidur sampai menu makan siang datang. Hampir 9 jam perjalanan kiranya lebih dari cukup untuk beristirahat sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke rumah.

Benar saja, penumpang pesawat membludak. Gadis Kecil ingat, kepulangan sebelumnya masih menyisakan banyak kursi kosong. Bahkan untuk tiga bangku berjejer bisa saja diisi oleh satu orang. Tapi hari ini penuh. Physical distancing tetap diterapkan, hanya saja kemungkinan untuk duduk sendiri di tiga bangku berjejer agak mustahil, mungkin akan dijarak satu kursi kosong. Ketika ia berpisah kursi dengan kelima kawannya, ia hanya bisa berharap ada suatu kebetulan yang membuatnya duduk sendiri selama perjalanan.

Gadis Kecil bersyukur ia akan duduk di dekat jendela begitu kembali mengecek tiketnya, 37K. Tapi ketika ia masuk pesawat, ia bisa melihat seseorang laki-laki akan duduk sebaris dengannya. Laki-laki itu bertubuh tinggi besar, setidaknya dibandingkan ukuran tubuhnya yang mungil. Ia terlihat tengah kerepotan memasukan kopernya ke dalam kabin. Harapan Gadis Kecil untuk duduk sendiri pupus sudah.

"Excuse me, may I?" Gadis Kecil menunjuk bangku di dekat jendela. Ia belum yakin orang yang akan duduk di kursi 37H itu adalah orang Indonesia. Semua penumpang memakai masker dan face shield sehingga agak sulit mengenali wajah. Laki-laki tadi bergeser sedikit, dan dalam hening Gadis Kecil berjalan, duduk di samping jendela. 

Kini ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Terakhir kali ia duduk sendiri di pesawat dengan orang tak dikenal, ia duduk dengan pasangan baik hati asal Singapura yang hanya bisa berbahasa Mandarin, tapi itu jauh lebih menenangkan. Di luar juga sudah gelap, tak ada yang bisa dilirik tuk mengalihkan pandangan. Pun ia terlalu mengantuk untuk membaca buku selarut ini. Sesekali ekor matanya menatap lelaki yang duduk di dua bangku sebelah kirinya. Laki-laki itu akan menjadi orang asingnya selama perjalanan. Kini ia tengah sibuk mengeluarkan kembali koper dari kabin dan mengambil dua barang dari dalam sana. Yang satu termos stainless steel, tapi yang satu lagi ia tidak tahu. Sekilas terlihat seperti lukisan abstrak di atas kaca yang terbungkus plastik. Ia menyimpan keduanya di kolong kursi di hadapannya. Mungkin dia anak seni, Gadis Kecil menduga asal.

Orang Asing itu benar tinggi dan cukup berisi. Jelas tingginya di atas 170. Ia memakai kemeja biru tua dengan luaran jaket hitam. Ada topi merah bertengger di kepala. Matanya mengingatkan ia pada Koko dan Cici tajir di area Paris Van Java. Untuk sekilas, perawakannya cukup menekan kondisi psikis Gadis Kecil. Kini ia akan terpenjara 9 jam perjalanan dengan laki-laki tak dikenal sementara ia yang mungil hanya bisa duduk di pojokan. Mulailah perasaan menyesal datang. Kalau saja dia check in bersama salah satu temannya, ia pasti tidak akan ada di kondisi seperti ini.

Pesawat sama sekali belum bergerak ketika Orang Asing duduk. Percakapan berisik khas Indonesia terdengar hilir mudik dari setiap barisan. Salah satu pramugari asal Indonesia terlihat tertawa pusing melihat banyaknya orang satu bahasa dengannya, ikut tenggelam bersama hiruk-pikuk keramaian. Potret terbaik warga Indonesia. Tidak peduli seberapa lama mereka tinggal di luar negeri dengan kehidupan individualisme-nya, ketika bertemu kawan setanah air, keramah-tamahannya tetap saja muncul. Apalagi ibu-ibu. Gadis Kecil pernah punya kalimat lucu soal ini "Seandainya kamu pergi sendiri dari negara kamu, transit di Doha beberapa jam, sampai ke Jakarta kamu bisa-bisa udah punya geng." Meski mungkin budaya serupa ini akan terlihat berisik dan menjengkelkan bagi warga Eropa.

Dengan kondisi lingkungan seperti ini, Gadis Kecil mulai menimang. Akan sangat canggung jika mereka tidak bertegur sapa. Tapi ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menyapa duluan sebelum yakin orang asing disampingnya juga orang Indonesia seperti dirinya. Maka ia memilih diam sambil menunggu waktu yang tepat.

Gadis Kecil masih memperhatikan, Orang Asing di sampingnya kini membuka jaket hitam kulitnya. Ia mengernyit. Memang sih panas, tapi apakah tidak akan kedinginan selama perjalanan nanti ketika AC berhembus lebih kencang? Tapi memang jaket kulit bukan dipakai untuk tidur. Lagipula ada selimut pesawat yang bisa dipakai. Jadi Gadis Kecil mulai berpikir untuk ikut melepas jaket jeans hitam yang ia pakai.

"Semoga di kursi ini nggak ada orang ya," sekonyong-konyong Orang Asing berbicara kepadanya. Bilang perkara bangku yang masih kosong di antara mereka. 

Gadis Kecil yang masih sibuk melepas jaket seketika menghentikan gerakan, menatap lawan bicaranya heran. Mata sipit Orang Asing itu kini menatapnya ramah. Ia tertegun sesaat sebelum tertawa kecil sebagai respon, "Haha iya Mas, semoga. Tapi setahu saya di sini memang bakal kosong kok."

"Oh, gitu? Baguslah haha."

Hening, tidak ada percakapan lanjutan. Setidaknya Gadis Kecil sudah tahu laki-laki tinggi besar ini benar-benar berbahasa Indonesia. Kini ia bisa jauh lebih tenang.

"Apa kabar?" kali ini, pertanyaan yang keluar terdengar jauh lebih tiba-tiba. 

Gadis Kecil menoleh. terdiam lebih lama untuk mencerna pertanyaan yang diajukan. Ini sungguh kah bertanya kabar? "Eh iya baik Mas. Alhamdulillah haha. Kalau masnya, gimana kabarnya?"

"Eh iya, baik juga Alhamdulillah. Hahaha. Kok ini canggung banget ya?"

Menurut Anda?

Kali ini Gadis Kecil benar-benar tertawa canggung. Padahal sedari tadi dia sudah berusaha senormal mungkin. Mengapa ia malah terlibat percakapan aneh semacam ini? 

Akhirnya mereka bisa mengobrol dengan jauh lebih tenang. Sekarang ia tahu nama Orang Asing, anak Jakarta, mahasiswa universitas di Irlandia dan pernah kuliah di Malaysia. Baru lulus. Tapi pandemi memaksa ia pulang agak telat dari seharusnya. Gadis Kecil sumringah. "Waah ... jadi ini pulang ..."

"For good" mereka berucap hampir berbarengan. Dan istilah tersebut jadi begitu lucu untuk diulang-ulang di kepala.

"Eh kalau mau keluar hati-hati ya sama ini," katanya menunjuk ke bawah. Ke sesuatu terduga Gadis Kecil sebagai lukisan kaca. "Takutnya ketendang atau gimana."

"Emang itu apa, Mas?"

"Hmm ... piringan hitam. Yang buat lagu itu, tau kan? Tadinya mau dimasukkin ke koper tapi takut patah," ujarnya. "Eh saya simpen sini aja kali ya?" Ia mengangkat album piringan hitam dan termosnya ke bangku di antara kami.

"Oh iya, simpen sini aja Mas" Gadis Kecil mengangguk, sekarang album pringan hitam itu ada di antara mereka berdua. Album berwarna kuning itu cantik sekali. Benar seperti lukisan kaca. Sekarang ia ingat, di ruang boarding, Orang Asing duduk tidak jauh dari tempat ia duduk. Sejak di bandara, sebelum ia tahu akan duduk bersama Orang Asing, matanya beberapa kali salah fokus dengan benda kuning seperti lukisan kaca tersebut. Album tersebut memang sebelumnya disimpan di atas koper biru yang Orang Asing tarik. 

Gadis Kecil jadi terdiam dalam lamunan, dua minggu lalu ia sempat jalan ke toko buku D&R dan melihat berbagai macam piringan hitam terjejer di rak depan. Mungkin selulusnya kuliah nanti piringan hitam juga bisa menjadi salah satu alternatif oleh-oleh. Mungkin itu bisa menjadi koleksi unik dari setiap negara yang akan ia jelajahi suatu hari nanti. Akan menarik jika setelah ia punya rumah sendiri, gramofon menjadi salah satu benda yang akan ia simpan di pojok ruang. Tapi, mengapa laki-laki yang menjadikan piringan hitam sebagai oleh-oleh kelulusannya jauh lebih menarik?

Pesawat lepas landas. Tak ada percakapan. Dan sebelum menu makan pagi dihidangkan, Gadis Kecil benar-benar sudah tertidur kelelahan.

Foto oleh Jace Afsoon. Sumber: unsplash.com

Bersambung di bagian dua ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Turkiye Burslari : Tips LOI #Pengalaman

7 Alasan Kenapa Kalian Harus Masuk SMAN 2 Cimahi

Turkiye Burslari 2017 (Bag. 1) : Lolos Tahap Pemberkasan, Alhamdulillah :)

Lolos Tahap Satu Turkiye Burslari 2017, Berkas Apa Saja yang Perlu Disiapkan?