Kala Virus Corona Menyerang Turki

Source : unsplash.com
"Masih bangun ga?" kepala Ai muncul di pintu kamar.

Kami mengiyakan. "Kenapa Ai?" Jariku otomatis menyentuh layar laptop. Film serial Netflix, Kingdom season dua, yang sedang kami tonton bersama harus terhenti di tengah adegan seru. Kim Sung-kyu, yang berperan menjadi "si ganteng bad boy", baru saja menembakkan isi senjata laras panjangnya dan membuat kami menahan napas--entah karena pesonanya atau memang ceritanya semendebarkan itu.

Klik. Lampu menyala. 

"Mbak Hilda minta tolong. Dia harus pindahan ke asrama Kakak, ke Melikgazi. Asramanya mau dipake karantina Corona orang yang habis pulang umroh."

"Hah?"

"Tapi kalau udah ngantuk ga usah sih."

"Gapapa kok. Yuk!"

Hari ini memang aku sengaja tidak tinggal di asrama, rencana nonton bareng di rumah Ai dan kawan-kawan. Tapi demi mendengar kalimat Ai, dalam sepuluh menit kami sudah bersiap dengan pakaian dan jaket kami. Ai berusaha menjelaskan kondisinya. Ditelepon. Tiba-tiba. Corona. Umroh. Pindah. Semua barang.  

Jam sebenarnya sudah menunjukkan pukul 12 malam tepat, tapi berempat, aku, Ai, Nisa, dan Dewi, pergi ke luar menembus malam. Aku menggumam, masih heran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya adegan film Kingdom masih hangat dalam kepala, tapi angin apa yang membawa kami menerima panggilan tengah malam?

"Kita kayak pasukan pemadam kebakaran tau gak?"

"Iya ya? Yeay aku senang jadi pemadam kebakaran!" sambut Dewi bertepuk tangan kecil, bahagia (:

Bus kota berhenti beroperasi pukul 12 malam, maka pilihan kami adalah jalan kaki. Butuh waktu 15-20 menit mencapai asrama Mbak Hilda di Anayurt. Tanpa diduga, cuaca yang sebelumnya panas, disambut lebatnya hujan turun. Air menetes dingin seperti es. Aku langsung ingat ramalan cuaca soal Kayseri mungkin akan bersalju besok. Atau setidaknya hujan dingin dalam beberapa hari.

Setelah berjalan cukup jauh, sampailah kami. Suasana asrama tujuan, asrama Hunat Hatun, agak chaos. Mobil polisi, taxi, bus servis, dan deretan mobil jemputan memenuhi jalanan depan asrama. Orang-orang berlalu lalang cepat, kaget dan lelah begitu nampak di raut setiap wajah. Sibuk menelepon, menarik satu-dua koper, bawa keresek, ... Sendiri, berdua, bersama keluarga ...




***

Wabah Corona bukan wabah pertama yang melanda bumi. Ada PES yang pernah menggigit sekitar 60% penduduk Eropa ataupun Flu Spanyol di perang dunia pertama yang dinyatakan sebagai "The Mother of All Pandemics". Bahkan, campak dan cacar air pernah juga dinyatakan sebagai penyakit mematikan--yang penyebarannya jelas jauh lebih mengerikan dibanding Corona. Cacar pernah menyabotase kegiatan Hindia-Belanda pada abad ke-18 sebelum vaksinnya ditemukan akhir abad ke-19.

Tapi di masa modern kini, yang akses beritanya jauh lebih mudah, mungkin Corona yang pertama menggemparkan dunia. Kalau dibandingkan dengan wabah flu burung dan Ebola yang juga heboh, pandemik kali ini entah kenapa lebih menciutkan nyali. Men-shut down kegiatan hingga pembatalan acara di banyak tingkat, kerugian bisnis besar-besaran. Rencana setahun ke depan rasanya hanya tinggal rencana yang entah kapan bisa terealisasi.

Menjadi warga negara asing di Turki agaknya punya kisah lain menghadapi Corona. Kalau orang lain hanya takut akan penyebaran virusnya, maka ketakutan kami bertambah : bully sosial. Kalau kata seorang kawan, "Chinnese is a new black". Kami harus menghadapi picingan mata rasis dan omongan belakang yang menyebalkan karena kami Asia. Aku yang merasa tidak putih dan tidak sipit pun harus merasakan tatapan menyebalkan yang sama, tapi mungkin karena aku biasa ditatap seperti itu selama 3 tahun (karena mereka selalu seperti itu terhadap masyarakat Suriah dan Afghanistan, lagipula mereka tidak bisa membedakan wajah warga negara asing), rasanya rasisme bukan hal baru.

Lebih dari itu, permasalahan rasis akibat wabah Corona agaknya berbuntut panjang. Kalau di Istanbul dan kebanyakan kota di seluruh dunia memakai masker untuk menghindari virus, maka kami malah ditatap aneh jika menggunakan masker, seolah kami yang sedang terserang virus. Seorang adik tingkat yang memakai niqab pernah dipaksa membuka niqab-nya untuk memastikan dia tidak sedang "menyembunyikan sesuatu".

Turki lock down dua hari setelah satu orang dinyatakan positif Corona. Sebuah antisipasi yang sangat cepat sekaligus mendebarkan. Cepat karena Turki tidak perlu 117 korban dulu untuk me-lock down negaranya, mendebarkan dalam artian kepanikan dan chaos yang terjadi setelahnya memang diciptakan dan dibuat oleh pemerintah sendiri. Di satu sisi baik, karena kami selalu berteriak, "Cuci tangan seperti arahan WHO ya guys!" di segala kondisi, di sisi lain buruk karena semua orang dalam mode waspada dan sangat waspada. Contohnya adalah kasus penusukan di Konya kepada seorang Afghanistan, karena si pendatang dianggap mau menyebarkan virus Corona. Gila! Rasisme dan kejahatan adalah kompilasi bully sosial paling mengerikan dalam bayanganku.

Universitas tutup selama 3 minggu terhitung sejak 16 Maret, sekolah tutup untuk seminggu kedepan, tidak boleh ada kegiatan kumpul-kumpul--yang berarti kegiatan PPI yang notabene isinya kebanyakan kumpul harus diundur alih-alih dibatalkan. Mall, kafe, dan jalanan mendadak sangat sepi, meninggalkan aku yang memang sudah kesepian sejak dahulu ...

***

"Mbak Hilda!" aku menyapa seseorang yang sangat kukenal, diam menunggu sendirian di balik hujan. "Serius barang Mbak cuma segini?" Kulirik koper merah, tas gendong kecil, dan tas laptop. Kurasa tidak mungkin cukup untuk semua barang.

"Masih banyak di kamar aku. Bantuin dong bawain!" Ia menyerahkan tas dan kopernya kepadaku. Yang lain siap siaga ambil bagian untuk naik ke lantai 6, membawa sisa barang.

"Kakak mau tunggu sini? Sendiri gapapa?" Nisa bertanya kepadaku, memastikan.

"Oke."

Maka dalam kesendirian aku memerhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Bus servis masih menunggu, siap antar hingga ke depan asrama Melikgazi. Asrama Melikgazi, asramaku, juga memang sepi karena penghuninya kebanyakan sudah pulang ke kota masing-masing. Menyebalkan sekali pemerintah Turki ini, tengah malam tiba-tiba disuruh pindah. Bayangkan anak rantau yang tidak punya keluarga atau pacar yang bisa diminta tolong pindahan dalam waktu sejam? Aku yakin Mbak Hilda pasti tidak enak harus meminta bantuan kami tengah malam. Aku yakin Mbak Hilda juga tau kami memang masih seru menonton Kingdom season dua.

Hujan masih turun gerimis dan aku masih heran dengan bagaimana manusia bisa sepanik ini dihadapkan "perang" dengan hanya virus yang bahkan tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Ternyata kita memang sekecil itu, tidak ada apa-apanya. Aku ingat sebuah lelucon orang Turki di sebuah video, tentang ketakutan mereka menghadapi virus Corona. "Mulai sekarang aku ingin rajin shalat," katanya. Turki memang se-sekuler itu untuk pemudanya membiasakan diri tidak shalat (bukan hanya tidak shalat lima waktu). Padahal kematian kemungkinannya masih 100% sejauh ini, dibandingkan dengan kematian akibat virus Corona. 

Bus pergi berlalu. Satu per satu orang pergi, keempat kawanku masih belum turun juga. Mas-mas yang meliput berita masih seru nenteng kamera. Akhirnya setelah sekian lama menunggu, teman-temanku datang dengan koper kecil, tas ransel besar, dan tiga keresek hitam besar. Seru sekali ...

"Ini udah kayak perang," ujar Mbak Hilda. "Sekarang, kita pindahan ke rumah Ai naik apa?"

"Taxi olsun. Gimana cara dapat taxi di sini?" Dua menit kemudian kami memakai taxi yang sudah sedari tadi berhenti di depan asrama.

Sepertinya sesampainya di rumah Ai, mendegar cerita Mbak Hilda akan seru sekali mengingat rasanya baru dua jam lalu ia berkabar lewat voice note, "Aku ngga bakalan nginep dulu ya. Besok aja. Temen kamarku mau pada pulang nih, aku mau perpisahan dulu." Rencana itu harus berubah jadi tiga minggu menginap di kamar Ai.

Aku tidak pandai membuat kesimpulan pada akhir kisah. Jadi mari biarkan aku tulis sebagaimana aku ingin menulis : mari belajar di rumah, semoga kita sepintar Isaac Newton yang mampu mengembangkan teori kalkulus, optik, dan hukum gravitasi selama "liburan" wabah PES pada masanya. Semoga masuk-masuk kita sudah menemukan hukum baru. Tetap jaga kesehatan dan cuci tangan sesuai arahan WHO!

Komentar

  1. Gercep niaaaaaan Çiça��

    BalasHapus
  2. Aku suka bagaimana catatan ini dimulai, transisi adegannya pun halus. Memang beda penulis asli. Request sinopsis Kingdom season satu haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, tapi jangan samakan aku dengan yang biasa nulis puisi lah, nyerah aku kalau disuruh nulis puisi 🙏

      Boleh haha

      Hapus
  3. Yaa ampun kakak. Pas baca tulisan kakak tuh seakan2 aku merasakan adegannya secara nyata. Mantaap

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak ya Dek :)) semangat ngejar Turki-nya biar ngerasain beneran.

      Hapus
  4. Assalamu'alaikum dek.
    Perkenalkan saya Rifky. Mohon maaf apa boleh saya meminta alamat emailnya kah? Mungkin jika berkenan boleh berkirim email ke rifkyrizkiantino@gmail.com ya
    Terimakasih banyak sebelumnya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Turkiye Burslari : Tips LOI #Pengalaman

7 Alasan Kenapa Kalian Harus Masuk SMAN 2 Cimahi

Turkiye Burslari 2017 (Bag. 1) : Lolos Tahap Pemberkasan, Alhamdulillah :)

Lolos Tahap Satu Turkiye Burslari 2017, Berkas Apa Saja yang Perlu Disiapkan?