[Cerita Pendek] Dulur Opat Kalima Pancer
“Hei Paketu,” sebuah suara
terdengar menyapaku sebelum kakiku keluar dari parkiran motor dekat sekolah.
Kemudian sebuah tangan melingkar di bahuku.
“Hei Farhan,”
aku menghela nafas panjang, langsung mengenalinya sebagai anak lelaki
hyper-aktif teman sekelasku. “Kenapa sih kamu suka manggil aku
Paketu?” Paketu adalah sebutan singkat khasnya untuk kata ‘Pak Ketua’.
“Aku tahu kamu
akan menjadi kandidat calon ketua OSIS yang paling berpengaruh tahun ini,
setelah berhasil menjadi ketua kelas XI IPA 6. Maka masa pemerintahan ketua
OSIS-mu tahun depan bakal jadi yang paling berpengaruh selama sekolah kita
dibangun, Rey.”
Aku menatapnya
datar. “Aamiin.”
“Assalamu’alaikum,”
ucapku begitu memasuki pintu kelas. Jawaban salam menyahut pelan dari berbagai
penjuru.
Aku memilih
duduk di baris pertama, bersebelahan dengan Farhan. Kemudian mataku menatap
berkeliling, seperti terhipnotis, Mencari kepala dengan kain batik khas sunda
yang terikat, totopong.
Namanya Agus.
Aku tahu nama Agus akan terdengar aneh untuk remaja yang mencari jati dirinya
di abad millenium. Dia pindahan dari Tasik dan gosipnya dia warga turunan
Kampung Naga[1].
Bahasa dan logatnya Sunda, tapi dia lancar menggunakan bahasa Indonesia. Kepribadiannya
ramah dan ceria. Wajahnya oval, tubuhnya kurus, namun tinggi tegap dengan kulit
kecoklatan. Rambutnya lurus berponi, setidaknya itu yang aku lihat ketika ia
membuka ikat kepalanya saat hendak shalat.
Yang paling
menarik perhatian sejak dia jadi murid baru di kelasku tentu totopong-nya. Mungkin tidak akan
terlihat aneh jika dia tinggal di Bandung—karena mereka punya program
pemerintah dimana siswa sekolah memakai ikat kepala seperti itu. Tapi itu
terlalu mencolok di Cimahi, meski hanya berjarak sekitar 12 kilometer dari jantung
kota Bandung namun terkadang kami merasa terlalu jauh dari kebudayaan sunda
kami sendiri. Kami menggunkan Bahasa Indonesia dengan campuran Bahasa Sunda
ringan sehari-hari, tapi terkadang merasa payah di pelajaran ‘bahasa ibu’ kami
sendiri.
Aku sendiri sebenarnya
tidak keberatan dengan totopong Agus.
Tapi pro-kontra para guru dan teman-teman membuatku ikut tidak nyaman, meski
Agus sepertinya tidak peduli dengan komentar-komentar di sekitarnya. Kadang aku
ingin memintanya untuk melepas totopong-nya.
Kupikir tidak akan menyenangkan jika orang-orang menganggap kita aneh karena
berbeda.
“Agus tidak
aneh, Reyhan” Farhan membuatku tersadar dari lamunanku. “Kunaon atuh mikikrkeun Agus wae? (Kenapa mikrin Agus terus?)”
Aku menatap
lawan bicaraku nanar. Entah mengapa ia bisa membaca pikiranku. “Yeah, dia tidak
aneh. Hanya berbeda, dan setiap yang berbeda akan dipandang aneh, Far.”
“Tidak, dia
manis,” Sarah, gadis yang duduk di belakangku ikut mengomentari pendek. Ikut
memerhatikan Agus yang asik berbincang dengan kawan-kawan kelasku di belakang
kelas.
Farhan
membelalak. “Sungguh?”
Sarah tertawa
keras, tapi tetap tertutupi oleh ramainya kelas di pagi hari. “Tanya saja anak
perempuan sekelas, mereka akan sependapat. Cowok banget. Rambutnya kece banget
kalau lepas ikat kepalanya. Tapi mungkin dia terlalu ... kampungan?”
“Tong sok balaga kitu atuh, Neng[2]
(Jangan suka belagu gitu, Neng),”
aku mencibir tidak suka. “Ari anjeun
tiasa teu nyarios Sunda siga Agus? (Memangnya kamu bisa ga bicara Sunda
seperti Agus?)”
Sarah tertawa. “Hereuy atuh, guys! Kalem we ... (Bercanda
kok, guys! Santai saja ...)”
Entahlah, tapi
kalimat Sarah tadi membuatku ingin Agus sedikit berubah. Karena aku tahu, ini
bukan perbincangan pertama tentang Agus.
***
“Far, mau pulang kapan?” aku
menegurnya yang masih mencatat. Tas sudah aku sampirkan di bahuku dan jaket
kuning-hitam di tangan, bersiap pulang.
“Kalem,” Farhan cepat memasukan buku
Kimia ke dalam tas. “Yuk, sekarang.”
Kami berdua berjalan
keluar kelas. “Kamu inget kalimat Sarah tadi pagi?”
“Yang tentang
Agus?”
Aku mengangguk.
“Aku ingin dia agak sedikit ... berubah.”
“Kau merasa
kasihan kepadanya?”
“Mungkin,” aku
angkat bahu. “Setidaknya totopong nya,
dia jadi terlihat berbeda dengan kita—seperti membedakan diri. Kalau bahasanya
sih tidak masalah. Toh, kita juga kalau bicara sering bercampur sunda-indo
kan?”
“Ya, mungkin
benar. Totopong. Mungkin kamu bisa
bicara langsung dengannya, sebagai ketua kelas yang baik.”
Kring! Kring!
Sebuah sepeda
menghampiri kami. Di atasnya seorang lelaki dengan totopong tersenyum manis ke arah kami. “Assalamu’alaikum” Kami
kompak menjawab salam disertai sebuah senyuman. “Lagi ngomongin totopong abdi nya? Kadengeran ku abdi hayoh. Tapi Cuma kedengaran kata ‘totopong’ nya
aja.”
“Eh, punten,” ujarku salah tingkah “Abdi mah ... Hanya tertarik, Gus,” aku
menyeringai sok lucu. Mengutuk sunda aktifku yang pas-pasan.
“Iya, Reyhan teh tertarik Gus. Katanya, dia mau
banyak tanya tentang iket kepala yang kamu pakai. Sambil main katanya boleh
tuh.”
“Oh mau sekalian main juga? Hayulah!”
Aku menatap
Farhan tak paham, apa isi kepalanya saat ini? “Gus, tapi da sebenernya mah, Farhan juga ingin ikut. Kata
Farhan, dia ingin main ke Curug[3]
Cimahi. Sabtu ini ya, Far?”
“Aya geuning? (Ada ternyata?)”
Farhan melongo. “Apa
sih kamu, Rey?”
“Malu-malu
memang anaknya teh Farhan mah. Yaudah ya Gus. Kita pulang dulu.
Nanti Sabtu kamu dibonceng Farhan kok. Assalamu’alaikum,” kami beranjak pergi
meninggalkan Agus, menuju ke arah parkiran motor.
“Wa’alaikum
salam,” Agus kembali mengendarai sepedahnya.
Aku dan Farhan
saling tatap, lalu tertawa tanpa aba-aba.
“Aku gagal
paham. Kenapa kamu tiba-tiba minta ke Curug Cimahi?”
Aku nyengir.
“Kenapa kamu minta main? Biar satu sama atuh.
Lagipula seumur-umur aku tinggal di Cimahi ga pernah ke sana juga.”
***
Hari ini hari Sabtu. Siang ini
matahari bersinar terik. Aku belum berani mengatakan tujuanku yang sebenarnya
pada Agus. Farhan nampak cuek tidak peduli. Agus sendiri masih menikmati
pemandangan di kawasan curug.
“Masih jauh,
Far?”
“Suara air sudah
terdengar kok, kawan. Kau lelah?”
Lalu sampailah
kami pada ketinggian sekian dimana curug bisa
kami lihat dengan jelas dari atas. Sungai mengalir tidak begitu deras.
“Akhirnyaaa,”
Farhan berjalan turun perlahan menuju sungai.
“Shalat yuk,
udah dzuhur!” kata Agus mengingatkan.
Farhan mengecek
jam tangannya. “Ya ampun, sudah jam 1”
“Ya,” Aku tidak
begitu memerhatikan kalimat Agus. Setelah mengambil duduk di salah satu
bebatuan yang paling besar, aku menatap aliran sungai yang mengalir tenang. Aku
masih berpikir bagaimana aku bilang keadaan yang sesungguhnya tanpa menyakiti
perasaannya. Apa aku harus bilang kalimat Sarah waktu itu? Tapi bagaimana
caranya? Ah, bukankah Agus memang tidak peduli kalimat orang-orang? Apa aku
bisa memintanya untuk tidak memakai totopong-nya
setiap hari? Tapi aku sadar kalau Agus memang tidak salah, dia tidak perlu
berubah. Mungkin aku bisa sedikit bercerita tentang keadaan sebenarnya dan
terserah Agus bagaimana selanjutnya.
“Gus sebenarnya
..,” sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Farhan menyenggolku, kemudian
memberikan isyarat mata. Aku menoleh, dan sebuah pemandangan “asing” membuatku
terdiam.
“Kunaon, Bro?” Agus menyeringai lucu
menatapku yang melongo.
Totopong
di kepala Agus kini telah berubah fungsi. Kain satu
meter persegi itu kini dijadikan alas untuk shalat. Aku bahkan tidak punya
persiapan untuk shalat di saat terdesak seperti ini. Aku terpukau dengan
caranya menjaga shalat. Mendadak aku seperti tidak ada apa-apanya.
“Tadi mau
ngomong apa, Rey?”
Aku tersenyum
canggung, mengurungkan niatku. “Gak jadi Gus.”
Agus balas tersenyum
santai. “Aku shalat dulu ya.”
Aku terdiam
sambil menunggu Agus selesai shalat. Banyak pertanyaan yang berseliweran dalam
pikiranku. Hingga pada salamnya, akhirnya beranjak bangun dan duduk di samping
Agus. “Apa arti totopong buat kamu,
Gus?”
“Nasihat yang
selalu mengingatkanku,” ujarnya mantap. Dia menatap kainnya yang terbentang di
atas bebatuan. “Sebut dia dulur opat
kalima pancer.”
“Eta teh naon, Gus?”
“Dulur opat itu berarti empat kekuatan
inti. Api, air, tanah, udara. Kalima
pancer punya arti terpusat pada diri kita dan terpancar kepada Tuhan alam
semesta. Jadi ini melambangkan sifat-sifat dasar manusia—seperti api
melambangkan amarah, maka air menyejukannya. Ini erat hubungannya dengan
keimanan manusia”
Kemudian tangan
Agus melipat kainnya menjadi segitiga. “Ini Tritangtu. Hubungan kita dengan
Allah, dengan manusia, dan dengan alam di sekitar kita.”
Lalu dia melipat
kain segitiga itu lima kali. “Di lipatan iket Buhun—ikat gaya Sunda lama, arti
5 lipatan ini menunjukan rukun islam.”
Aku menelan
ludah. Dalam sekali filosofi yang ditawarkan Agus dalam secarik kain yang ia
pakai di kepala.
“Ini nasihat
dari kakek aku. Beliau salah satu tokoh penting di Kampung Naga. Aku juga awalnya
tidak begitu peduli dengan kain totopong.
Tapi ketika kita memakainya, maka akan ada yang menasihati kita tentang siapa
diri kita. Hanya makhluk Tuhan. Terlebih lagi, karena kita ini masyarakat
Sunda. Gitu aja sih aku mah.
“Urang hirup di jaman millenium—dimana
para remajanya lebih senang bicara kawaii
dibanding campernik ketika
melihat sesuatu yang imut. Maka harus ada seseorang yang melanjutkan budaya dan
adat kita”
Aku tertegun,
Agus bisa paham istilah kawaii yang
biasa diapakai anak-anak otaku[4].
“Kamu tidak
merasa terlalu berbeda, Gus?”
“Tidak ah.
Cimahi kan daerah Sunda juga. Kalau aku pakai totopong di daerah jawa tengah, baru aku merasa berbeda.”
Aku mengangguk
paham, kembali berpikir tentang kota yang membesarkanku. Bukan soal sebutan cyber city-nya yang jadi masalah. Tapi
sebutan kota ‘game online’, mungkin menerima kenyataan bahwa saingan kue cubit
dan capuchino cincau di kota kecil kami adalah warnet—karena ketiganya banyak
sekali. Seperti terjajah barat, tapi begitulah kenyataannya. Bahkan saat
istirahat dan jam kosong, kami senang tanding game online lewat gadget atau
laptop kami masing-masing. Agus sendiri biasanya hanya menoton kami bermain.
Kami memang terlalu jauh dari budaya kami sendiri.
Pola pikir Agus
tidak ketinggalan zaman, aku sadar. Bahkan kami lah yang seharusnya merasa aneh
dengan pemikiran kami sendiri. Totopong
bukan sekedar pakaian adat, tapi juga budaya yang harus dilestarikan. Aku pikir
Agus bukan tidak bisa berubah, dia bisa berubah mengikuti gaya kami yang
kebarat-baratan. Tapi dia memilih tidak. Dan jika tidak ada remaja seperti
Agus, maka siapa yang akan melestarikan budaya kita?
Aku tahu sebuah
cara agar Agus tidak dibilang Aneh lagi, setidaknya membuat dia tidak terlalu
mencolok dengan perbedaannya. “Abdi oge
bade make totopong ah, Gus (Aku juga ingin pakai totopong ah, Gus). ”
“Ciye, Reyhan.
Kayaknya nanti di salah satu rencana program kerja ketua OSIS-nya, ada yang
akan membuat peraturan murid lelaki memakai totopong
satu hari dalam seminggu nih,” celetuk Farhan asal.
Aku menyeringai,
“Kamu kalau ngomong jangan aneh-aneh deh!”
Tapi mungkin
kali ini dia benar.[]
Cimahi, 23 Juli 2015
Kawaii memang terdengar lebih lucu dibanding Campernik
BalasHapusTapi di telingaku kayaknya "campernik" lebih cantik sih
Hapus